“Legalitas Dipertanyakan di Morowali Utara, Direksi PT KLS Tepis Keraguan,Seluruh Aktivitas Berada dalam Koridor Hukum Sejak 1997”
KABAR BANGGAI – PT Kurnia Luwuk Sejati (KLS), perusahaan perkebunan kelapa sawit yang telah beroperasi selama hampir tiga dekade di Morowali Utara, akhirnya memutuskan untuk angkat bicara secara terbuka.
Langkah ini diambil untuk menepis keraguan dan polemik publik yang kian memanas ihwal legalitas operasional mereka, terutama di tengah pusaran konflik agraria yang menyeret nama perusahaan ke meja mediasi Satgas Penanganan Konflik Agraria (PKA) Sulawesi Tengah. Kamis, 11 Desember 2025
Dalam konferensi pers yang tegas, dua petinggi perusahaan, Direktur PT KLS Sulianti Murad dan Asisten Direktur Ferdinand Magaline, menegaskan bahwa seluruh aktivitas yang dilakukan oleh PT KLS berada dalam koridor hukum dan telah mematuhi setiap regulasi perkebunan sejak pertama kali menjejakkan kaki di wilayah tersebut pada tahun 1997.
Sulianti Murad, Direktur PT KLS, menekankan bahwa fondasi legalitas perusahaan telah lengkap sejak awal masuk dengan skema pengembangan kebun inti plasma di kawasan Morowali Utara.
“Seluruh kegiatan kami berjalan berdasarkan hukum. Kami hanya meminta perlindungan dan kepastian usaha. Investasi tidak bisa tumbuh jika ada gangguan dari pihak yang tidak memiliki dasar hak,” ujar Sulianti, menjawab konfirmasi media.
Penegasan ini muncul di tengah sengketa lahan yang mencuat di wilayah Mamosalato dan Bungku Utara. Polemik ini telah memaksa perusahaan untuk mengikuti sejumlah forum mediasi, termasuk yang terbaru diselenggarakan oleh Satgas PKA Sulteng pada 10 Desember 2025.
Ferdinand Magaline menambahkan penjelasan rinci mengenai perizinan yang seringkali dipertanyakan, seperti Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (PPKPR), keterdaftaran di Online Single Submission (OSS), hingga status Hak Guna Usaha (HGU) PT KLS.
Izin Pra-OSS dan PKKPR, Ferdinand menjelaskan bahwa PT KLS beroperasi jauh sebelum ketentuan OSS dan PKKPR diberlakukan. Izin yang digunakan sejak 1997 mengacu pada kerangka hukum saat itu, termasuk Izin Lokasi yang diterbitkan Kantor Pertanahan Poso dan diperbarui Pemkab Morowali pada 2013.
Dokumen Resmi Pembelian Lahan, “Kami memiliki izin lokasi, rekomendasi kesesuaian rencana makro perkebunan dari Pemprov Sulteng tahun 2015, serta dokumen pembelian lahan resmi seperti SKPT, SPT, dan sertifikat hak milik,” jelas Ferdinand, sambil menambahkan bahwa proses migrasi perizinan ke OSS sedang berlangsung di Dinas Perizinan Morowali Utara.
Pola Penguasaan Lahan (HGU), Mengenai HGU, perusahaan menegaskan bahwa penguasaan lahan bukan melalui pola pengajuan HGU baru, melainkan berasal dari pembelian langsung dari masyarakat sejak 1997.
PT KLS juga menyoroti kontribusi signifikan yang telah mereka berikan selama hampir tiga dekade operasional. Dampak positif ini mencakup penyerapan tenaga kerja lokal, setoran pajak (PPN, PPh, PBB), hingga aliran ekonomi yang masif melalui pembelian Tandan Buah Segar (TBS) dari petani plasma. Pembelian TBS ini bahkan mencapai sekitar Rp5 miliar per bulan, sebuah suntikan ekonomi yang nyata bagi masyarakat setempat.
Sulianti mengungkapkan bahwa hubungan perusahaan dengan masyarakat di tiga desa operasional Taronggo, Posangke, dan Tokala Atas selama ini terjalin harmonis. Ia menyebut, gesekan dan penolakan justru datang dari kelompok yang tidak memiliki hubungan langsung dengan wilayah pengelolaan perusahaan.
Hal ini kembali ditekankan Ferdinand terkait pertemuan resmi di Balai Desa Baturube pada 10 Desember 2025. “Warga yang menyuarakan penolakan bukan bagian dari masyarakat yang selama ini bekerja sama dengan perusahaan. Di desa operasional, hubungan kami tetap baik,” tegasnya, sembari membantah keras tuduhan intimidasi terhadap warga.
Sebaliknya, perusahaan mengklaim justru merekalah yang sering diintimidasi, bahkan terjadi perusakan kantor kebun dan aset TBS. Kehadiran aparat keamanan, menurut Ferdinand, adalah untuk mencegah kekacauan, bukan untuk melakukan intimidasi.
Dalam forum mediasi, Satgas PKA memang menyoroti beberapa temuan OPD teknis, termasuk soal PKKPR, OSS, dan tidak adanya permohonan HGU baru. Pemerintah bahkan memaparkan bahwa sebagian kawasan yang diklaim perusahaan berada dalam wilayah transmigrasi bersertifikat sejak 1982–1983.
Menanggapi temuan ini, PT KLS menyatakan sikap kooperatif dan siap menyambut instruksi Satgas untuk menghadirkan seluruh dokumen pembelian dan perizinan sebelum batas waktu 19 Desember 2025.
“Kami siap duduk bersama. Semua pihak yang mengklaim lahan sebaiknya juga membawa dokumen resmi agar perbandingan dilakukan secara objektif,” kata Ferdinand.
Perusahaan mempertanyakan mengapa klaim lahan baru ini baru bermunculan pada tahun 2025, padahal perusahaan sudah beroperasi sejak 1997. “Ini penting untuk dijernihkan,” ujarnya.
PT KLS menekankan bahwa persoalan ini melampaui sengketa lahan semata; ini adalah isu kepastian hukum bagi investor lokal yang telah puluhan tahun berkontribusi.
“Yang kami butuhkan hanya kenyamanan berusaha. Investasi tidak akan berkembang jika terus diganggu oknum yang tidak memiliki dasar klaim,” tutup Sulianti, memohon dukungan pemerintah daerah dan aparat keamanan untuk memastikan iklim usaha tetap kondusif.
PT KLS berharap proses penyelesaian yang terukur, berbasis data, dan menghormati aturan hukum dapat mengakhiri konflik agraria ini. Perusahaan menegaskan komitmen mereka untuk tetap berinvestasi dan tumbuh bersama masyarakat Morowali Utara.( Rls PT. KLS ) **







