Gadis Kecil di Bulagi Utara dan Luka Sosial Kita

Oleh: Supriadi Lawani*

KABAR BANGGAI  –  Ini kisah dari Bulagi Utara.

Bukan tentang Paisupok yang indah dan eksotis, bukan tentang laut biru dan pantai putih yang kerap menghiasi brosur wisata. Ini kisah tragis yang menyayat hati—kisah tentang seorang gadis kecil, siswi sekolah dasar, yang disetubuhi oleh ayah dan kakaknya sendiri, lalu dijual oleh ibunya kepada lelaki paruh baya dengan harga dua puluh ribu rupiah.

Namun tragedi ini tak berhenti di sana. Dalam laporan Radar Sultim, terungkap pula bahwa gadis kecil itu juga disetubuhi oleh pacarnya yang masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP). Fakta ini menambah lapisan kengerian: bukan hanya orang dewasa, tetapi juga anak sebayanya menjadi pelaku. Di sinilah letak luka sosial yang paling dalam—ketika nilai dan empati runtuh bersama struktur sosial yang seharusnya melindungi mereka. Rabu 8/10/2025.

Delapan orang kini telah ditetapkan sebagai tersangka. Tapi kasus ini tidak boleh berhenti sebagai perkara pidana semata. Ia adalah cermin kelam tentang kemiskinan, ketimpangan, dan hancurnya nilai-nilai kemanusiaan di pinggiran negeri.

Lanskap yang Keras

Bulagi Utara berada di ujung timur Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah. Lanskapnya pesisir dan berbatu, sulit untuk bercocok tanam. Banyak warga hidup dalam rumah berdinding papan, beratap rumbia, atau seng berkarat. Hasil laut tak seberapa, pertanian juga demikian dan lapangan kerja di luar sektor nelayan nyaris tak ada.

Kemiskinan bukan sekadar keadaan ekonomi, tetapi cara hidup yang diwariskan. Di banyak rumah, anak-anak tumbuh dalam kekurangan, orang tua bekerja serabutan, dan negara hadir hanya dalam bentuk bantuan sesekali. Dalam kondisi seperti itu, keluarga mudah kehilangan daya asuh. Kelelahan hidup membuat kasih sayang kerap berganti dengan kemarahan dan penyerahan nasib.

Namun kemiskinan saja tidak cukup menjelaskan kekejaman ini. Ada lapisan nilai sosial dan budaya yang turut menyuburkannya.

Budaya Patriarki dan Kekuasaan di Rumah

Di banyak wilayah pesisir timur Indonesia, sistem patriarki masih kuat. Laki-laki menjadi pusat kuasa, perempuan bergantung pada suami, dan anak sering dianggap milik keluarga, bukan subjek yang memiliki hak. Kekerasan domestik kerap dianggap urusan “dalam rumah tangga”, bukan pelanggaran.

Baca Juga Berita Ini:  Menata Ulang Negara Hukum, Mewujudkan Undang-Undang Contempt of Court

Ketika ketimpangan ekonomi dan kuasa berpadu, rumah tangga bisa menjadi tempat paling berbahaya bagi perempuan dan anak. Dalam situasi ini, tubuh anak perempuan sering menjadi sasaran frustrasi, kemarahan, bahkan transaksi. Dan ketika ibu sendiri kehilangan kemandirian, ia pun kehilangan kemampuan melindungi. Dalam tragedi Bulagi Utara, bahkan ikut menjadi pelaku yang menjual anaknya—sebuah bukti bahwa kekuasaan dan kemiskinan bisa mengikis habis naluri kemanusiaan.

Tubuh Sebagai Komoditas

Dari perspektif antropologis, tubuh sering menjadi satu-satunya sumber nilai ekonomi ketika akses lain tertutup. Dalam masyarakat yang miskin dan terpinggirkan, tubuh anak perempuan dapat diperlakukan sebagai aset terakhir. Uang dua puluh ribu rupiah yang diterima sang ibu adalah simbol tragis dari hilangnya martabat manusia: dua lembar uang kertas yang menjadi harga sebuah kehidupan.

Namun yang membuat kasus ini makin mengerikan adalah kenyataan bahwa kekerasan juga datang dari sesama remaja. Pacar korban yang masih duduk di SMP turut menjadi pelaku. Ini menandakan kerusakan nilai yang sudah merembes hingga ke generasi muda.

Fenomena ini harus dibaca secara sosiologis. Di banyak daerah miskin, anak-anak tumbuh tanpa pendidikan seks yang benar, tanpa pendampingan psikologis, dan dalam lingkungan yang permisif terhadap kekerasan. Seksualitas muncul bukan sebagai kesadaran kasih sayang, tetapi sebagai bentuk pelampiasan atau tiruan dari perilaku orang dewasa yang mereka lihat sehari-hari.

Negara yang Terlambat Hadir

Kita mesti bertanya: di mana negara ketika tragedi seperti ini terjadi? Apakah sekolah memiliki sistem pendampingan yang mampu membaca tanda-tanda kekerasan pada anak? Apakah perangkat desa memiliki mekanisme perlindungan anak?

Di banyak desa pesisir Banggai Kepulauan, negara hadir dalam bentuk proyek dan papan nama, bukan pendampingan nyata. Guru bekerja dengan fasilitas terbatas, petugas kesehatan datang jarang, dan pekerja sosial hampir tak ada. Ketika perlindungan sosial hanya sebatas program formal, masyarakat miskin dibiarkan bergulat sendiri dalam kekosongan nilai.

Baca Juga Berita Ini:  Prabowo, Indonesia, dan Neoliberalisme

Tragedi di Bulagi Utara adalah bukti kegagalan sistemik: ketika keluarga hancur, masyarakat diam, dan negara absen.

Kemiskinan yang Membusuk Jadi Luka Moral

Kemiskinan yang panjang dapat berubah menjadi luka moral. Ketika harapan hilang, rasa malu pun ikut mati. Orang tua yang dulu menjaga anaknya kini kehilangan batas; anak-anak yang harusnya bermain dan belajar, justru belajar dari kekerasan.

Di Bulagi Utara, pemandangan laut biru dan karang indah berseberangan dengan kenyataan getir di rumah-rumah papan: ketidakberdayaan, pengangguran, dan keputusasaan. Di sinilah peradaban diuji—bukan di gedung tinggi atau kota besar, melainkan di tempat-tempat di mana manusia berjuang sekadar untuk bertahan hidup.

Membangun Harapan dari Reruntuhan

Kita tidak bisa hanya marah. Kita harus membangun kembali struktur sosial yang memberi perlindungan. Pendidikan di daerah terpencil perlu diperkuat bukan hanya dalam hal fasilitas, tetapi juga pendidikan moral, seksualitas sehat, dan kesetaraan gender. Guru, tokoh adat, dan pemuka agama harus bekerja bersama membentuk ruang aman bagi anak-anak.

Negara juga perlu menugaskan pekerja sosial yang benar-benar hadir di lapangan. Perlindungan anak tidak bisa dijalankan lewat dokumen, tetapi lewat kehadiran nyata.

Luka Kita Semua

Kisah gadis kecil di Bulagi Utara bukan kisah satu keluarga, melainkan kisah tentang kegagalan kolektif kita menjaga yang paling lemah. Ketika anak-anak menjadi korban di tangan keluarga dan teman sebayanya, itu artinya fondasi sosial kita retak.

Bulagi Utara bukan sekadar titik di peta Banggai Kepulauan. Ia kini menjadi cermin yang memantulkan wajah bangsa: wajah yang tengah kehilangan arah moral di tengah pembangunan yang tak menyentuh hati manusia.

Gadis kecil itu mungkin tidak akan pernah tahu mengapa dunia begitu kejam padanya. Tapi semoga kita tahu—bahwa luka itu adalah luka kita semua.**

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *