Oleh: Supriadi Lawani*
KABAR BANGGAI – Aliansi Mahasiswa dan Rakyat (AMARAH) sudah melangkah jauh. Mereka tidak hanya turun ke jalan, tetapi juga masuk ke ruang formal Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan DPRD Banggai.
Salah satu suara yang dibawa sederhana tapi tegas: rakyat menolak Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) 10 persen yang dibebankan pada setiap transaksi makanan dan minuman di warung, restoran, hingga kedai kopi.
Namun hasil RDP itu ternyata mengecewakan. Ketua DPRD hanya mengatakan pajak akan “dievaluasi”.
Kata yang terdengar manis di telinga, tetapi hampa bagi rakyat. Sebab selama Peraturan Daerah masih berlaku, pajak tetap dipungut, rakyat tetap membayar, dan beban ekonomi tidak berkurang sedikit pun.
DPRD tidak boleh berhenti pada janji evaluasi. Yang dibutuhkan saat ini adalah keputusan politik yang jelas: merekomendasikan secara resmi kepada bupati untuk melakukan moratorium.
Dengan moratorium, pemungutan pajak bisa dihentikan sementara melalui Peraturan Bupati atau Surat Keputusan Bupati, sambil menunggu proses evaluasi dan revisi Perda.
Contoh Kota Malang membuktikan hal ini bisa dilakukan. Ketika rakyat menolak, pemerintah kota segera mengambil langkah moratorium pajak restoran.
Hasilnya, rakyat terbebas dari beban sementara pemerintah punya waktu untuk mengkaji ulang kebijakan tanpa kehilangan legitimasi.
Lebih jauh, kita juga harus jujur soal kelemahan teknis di Banggai. Sistem pemungutan PBJT saat ini belum terdigitalisasi.
Artinya, potensi kebocoran penerimaan pajak justru besar: laporan transaksi bisa dimanipulasi, pungutan tidak transparan, dan hasil pajak tidak optimal masuk ke kas daerah.
Dengan kondisi seperti ini, rakyat sudah terbebani, UMKM terhimpit, tetapi daerah belum tentu benar-benar menerima PAD secara maksimal.
Jadi, apa gunanya memaksakan pajak yang sejak awal tidak siap secara sistem?
Mengapa Banggai tidak bisa mengambil langkah berani seperti Malang? Perda memang memberi kerangka hukum, tetapi pelaksanaan teknis pemungutan ada di tangan bupati.
Di titik ini, DPRD seharusnya menggunakan fungsi pengawasan dan representasinya untuk menekan bupati mengambil kebijakan yang berpihak pada rakyat.
AMARAH sudah menjalankan tugas moralnya: bersuara lantang melawan kebijakan yang tidak adil.
Sekarang giliran DPRD membuktikan keberpihakan. Rekomendasi evaluasi saja tidak cukup.
Rakyat menunggu rekomendasi yang lebih berani: moratorium pemungutan pajak 10 persen.
Kalau Malang bisa, Banggai pun pasti bisa. Tinggal soal keberanian politik DPRD: mau berdiri bersama rakyat, atau hanya menyembunyikan diri di balik kata “evaluasi”?**







