Catatan: S. Durandt
KABAR BANGGAI – Dalam perspektif teori birokrasi Weber, birokrasi yang efektif harus didasarkan pada prinsip legalitas, rasionalitas, dan netralitas, sehingga ASN dapat menjalankan tugasnya dengan penuh tanggung jawab tanpa tekanan politik.
Pasca Pilkada Banggai 2024 yang berujung pada Pemungutan Suara Ulang (PSU) akibat adanya dugaan kecurangan terkait keterlibatan ASN, perdebatan soal netralitas ASN terus bergulir, terutama di media sosial. Isu ini juga menjadi perhatian sejumlah media online lokal, memperpanjang pembicaraan publik tentang profesionalisme birokrasi.
PSU Banggai 2025 yang terjadi akibat gugatan pelanggaran netralitas ASN ke Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya usai. Gugatan ini melibatkan tiga ASN yang diketahui menjabat sebagai pejabat birokrasi daerah dan kecamatan.
Meski pada akhirnya gugatan kedua ini tidak dikabulkan MK dengan alasan petitum paslon rival petahana dianggap kabur dan tidak jelas, isu ketidaknetralan tetap meninggalkan jejak kontroversi.
Pesta politik boleh saja berakhir, namun jika dendam politik tim sukses terus berlanjut dengan memberikan tekanan terhadap ASN yang diduga berpihak pada rival petahana, maka ini hanya akan memperparah konflik internal birokrasi. Media lokal yang terus menggiring opini dengan narasi intimidatif juga berisiko menciptakan ketidakstabilan dalam tubuh birokrasi, yang pada akhirnya dapat mengganggu pelayanan publik.
Netralitas ASN adalah prinsip fundamental dalam birokrasi modern. ASN tidak hanya dituntut untuk profesional dalam menjalankan tugasnya, tetapi juga harus bebas dari pengaruh politik praktis yang dapat merusak integritas lembaga publik. Beberapa bentuk pelanggaran netralitas ASN dalam Pilkada, antara lain:
- Menggunakan fasilitas negara, seperti kantor atau kendaraan dinas, untuk kegiatan kampanye pasangan calon tertentu.
- Menggunakan pengaruh jabatan untuk mempengaruhi bawahan atau masyarakat agar mendukung pasangan calon tertentu.
- Terlibat secara langsung dalam kegiatan kampanye pasangan calon, baik sebagai peserta maupun pendukung.
- Memanfaatkan media sosial untuk mempromosikan atau mendukung pasangan calon tertentu.
Pelanggaran seperti ini bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik Pegawai Negeri Sipil, serta Surat Edaran Nomor B-2900/KASN/11/2023 dari Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN).
Pelanggaran ini dapat berujung pada sanksi administratif hingga pemecatan, tergantung pada tingkat keterlibatan dan dampaknya terhadap netralitas birokrasi.
Namun, perlu dicatat bahwa memberikan dukungan politik lewat hak suara bukanlah pelanggaran netralitas ASN.
Hak ini dilindungi oleh konstitusi, selama ASN tersebut tidak menggunakan fasilitas negara atau pengaruh jabatannya untuk mempengaruhi hasil pemilihan.
Oleh karena itu, penegakan sanksi terhadap ASN harus dilakukan secara adil dan tanpa tebang pilih, baik terhadap ASN yang mendukung petahana maupun rivalnya.
Jika sanksi hanya diberikan kepada ASN yang dianggap berpihak pada rival petahana, ini justru akan merusak prinsip netralitas yang seharusnya dijunjung tinggi.
Akhirnya, profesionalisme birokrasi harus tetap menjadi prioritas, dan netralitas ASN harus ditegakkan tanpa pandang bulu demi menjaga kepercayaan publik terhadap institusi pemerintah. Jangan sampai birokrasi yang seharusnya menjadi pilar stabilitas pemerintahan justru terjerumus dalam pusaran politik praktis. (TIM) **






