Jaksa Tidak Kebal Hukum

Oleh: Supriadi Lawani*

KABAR BANGGAI –  Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) baru-baru ini menegaskan kembali prinsip yang mendasar dalam negara hukum: tidak ada satu pun warga negara yang berada di atas hukum, termasuk jaksa. Melalui putusannya terhadap Pasal 8 ayat (5) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, MK menyatakan bahwa ketentuan mengenai izin Jaksa Agung untuk memeriksa atau menahan seorang jaksa tidak boleh dimaknai secara mutlak.Sabu 18 Oktober 2025.

Putusan itu tampak teknis, namun sesungguhnya menyentuh jantung sistem hukum pidana kita. Sebab di sanalah keadilan diuji—apakah hukum berfungsi sebagai pelindung kepentingan publik, atau sekadar pelindung kekuasaan institusional.

Dari Imunitas ke Akuntabilitas

Sebelum putusan ini, seorang jaksa tidak dapat dipanggil, diperiksa, atau ditahan tanpa izin Jaksa Agung. Ketentuan ini dimaksudkan untuk menjaga independensi jaksa agar tidak mudah diintervensi pihak luar, terutama dalam menangani perkara yang sensitif. Namun di sisi lain, aturan ini membuka celah impunitas.

Bayangkan bila ada jaksa tertangkap tangan menerima suap, namun aparat penegak hukum lain harus menunggu izin Jaksa Agung sebelum menindaklanjutinya. Logika hukum pidana jelas terganggu: sementara bukti permulaan sudah cukup, hukum justru harus menunggu keputusan administratif.

Baca Juga Berita Ini:  Rencana Panggung UMKM di Bukit Halimun, Pungutan di Kantong Rakyat

Di sinilah MK mengambil posisi tegas. Pasal itu kini harus dimaknai bersyarat. Izin Jaksa Agung tidak diperlukan jika jaksa tertangkap tangan, atau disangka melakukan tindak pidana berat seperti kejahatan yang diancam pidana mati, kejahatan terhadap keamanan negara, atau tindak pidana khusus seperti korupsi dan terorisme.

Hukum Pidana Tidak Mengenal Privilese

Dalam teori hukum pidana, asas utama yang dijunjung adalah persamaan di hadapan hukum (equality before the law). Artinya, setiap orang, siapa pun dia, tunduk pada hukum pidana yang sama. Tidak ada jabatan yang bisa menjadi perisai bagi pelaku kejahatan.

Imunitas yang berlebihan justru menggerus kepercayaan publik terhadap penegakan hukum. Ia menciptakan jarak antara penegak hukum dan warga biasa, seolah hukum dibuat hanya untuk mengatur rakyat, bukan mereka yang menegakkannya.

Putusan MK ini memulihkan kembali keseimbangan itu. Ia menegaskan bahwa perlindungan terhadap jaksa bukanlah bentuk kekebalan, melainkan mekanisme etis untuk mencegah kriminalisasi terhadap tindakan kedinasan yang sah. Tetapi jika seorang jaksa menyalahgunakan kekuasaannya untuk melakukan kejahatan, maka ia harus dimintai pertanggungjawaban pidana sebagaimana warga negara lain.

Menegakkan Keadilan Substantif

Hukum pidana modern tidak lagi semata-mata bersifat menghukum (retributif), melainkan juga mendidik dan mencegah. Tujuan akhirnya adalah menjaga keadilan substantif—keadilan yang dirasakan oleh masyarakat.

Baca Juga Berita Ini:  Kacabjari Pagimana Resmikan Rumah Restorative Justice, Wujudkan Keadilan yang Humanis

Dengan meniadakan perlindungan absolut bagi jaksa, MK memberi pesan kuat: penegak hukum tidak boleh kebal dari hukum yang ditegakkannya. Ini bukan sekadar soal prosedur, tetapi soal moralitas hukum. Sebab dalam sistem pidana, keadilan tidak hanya diukur dari siapa yang dihukum, tetapi juga siapa yang berani dihukum ketika melanggar.

Menjaga Kepercayaan Publik

Kejaksaan adalah pilar penting dalam sistem peradilan pidana. Kepercayaan publik terhadap lembaga ini sangat bergantung pada kemampuannya menunjukkan integritas. Dan integritas tidak lahir dari aturan yang melindungi, tetapi dari kesediaan untuk diawasi dan dievaluasi.

Dengan adanya putusan ini, kita berharap tidak ada lagi ruang abu-abu bagi penyalahgunaan kewenangan. Sebab hukum pidana tidak mengenal kasta, tidak mengenal pangkat, tidak mengenal jabatan. Ia hanya mengenal perbuatan dan pertanggungjawaban.

Hukum tidak boleh menjadi perisai bagi kejahatan, terlebih ketika kejahatan itu dilakukan oleh mereka yang mengaku menegakkannya. Putusan MK adalah pengingat bahwa kekuasaan yang benar adalah kekuasaan yang siap diperiksa.( Budi ) **

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *