Rencana Panggung UMKM di Bukit Halimun, Pungutan di Kantong Rakyat

Oleh: Supriadi Lawani*

KABAR BANGGAI –  Kebijakan fiskal daerah sejatinya bertujuan menyeimbangkan antara kebutuhan pendanaan publik dan kemampuan membayar warga. Namun ketika instrumen pajak diterapkan secara seragam tanpa memperhitungkan skala usaha, margin keuntungan, dan daya beli masyarakat, pajak justru menjauh dari keadilan. Kasus Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) 10 persen yang kini berlaku di Banggai adalah contohnya.

Di Banggai, setiap transaksi di restoran, warung makan, dan warkop dikenakan PBJT 10 persen tanpa membedakan besar kecilnya usaha. Warung kopi beromzet dua juta lima puluh ribu per bulan diperlakukan sama dengan restoran mapan yang beromzet puluhan juta rupiah per pulan. Kebijakan ini menyamaratakan beban, namun mengabaikan daya tahan ekonomi rakyat kecil.

Sementara itu, sejumlah kota menunjukkan alternatif kebijakan yang lebih berpihak. Malang menetapkan ambang omzet Rp15 juta per bulan sebagai batas pembebasan PBJT—kebijakan ini membebaskan sekitar 900 UMKM dari pungutan. 

Solo dan Bantul memilih pendekatan verifikasi dan edukasi sebelum memungut pajak. Sukabumi menempatkan dialog publik sebagai prasyarat legitimasi, Balikpapan menerapkan tarif berjenjang, dan DKI Jakarta memberi relaksasi bagi usaha mikro. Semua contoh ini memperlihatkan bahwa kebijakan fiskal daerah bisa tetap produktif tanpa menekan pelaku usaha kecil.

Baca Juga Berita Ini:  Sifat Kebinatangan Benjamin Netanyahu

Paradoks Rencana Ragam UMKM Bukit Halimun

Ironisnya, di tengah kenaikan pajak PBJT yang menyasar semua pelaku usaha, Pemerintah Daerah Banggai justru menggelar “Ragam Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)” di Kawasan Bukit Halimun, Kecamatan Luwuk Selatan, dalam rangka peringatan HUT Kemerdekaan. Di satu sisi, pemerintah merayakan peran UMKM; di sisi lain, kebijakan fiskalnya memberatkan mereka. Ini paradoks yang sulit diabaikan: bagaimana mungkin satu tangan memberi panggung, sementara tangan lainnya memungut beban yang bisa dikatakan berat?

Konsekuensi pemaksaan pajak seragam

Ketika PBJT 10 persen dipaksakan kepada warung kecil, efeknya berlapis. Pertama, margin usaha yang tipis makin terkikis. Kedua, konsumen—terutama dari golongan berpendapatan rendah—menanggung kenaikan harga. 

Ketiga, pelaku usaha enggan mencatat transaksi secara formal, memilih bertahan di sektor informal. Keempat, iklim usaha lokal terancam karena pelaku kecil kehilangan ruang untuk tumbuh.

Kenaikan PAD yang dihasilkan mungkin tampak sebagai prestasi jangka pendek, namun risiko jangka panjangnya adalah berkurangnya basis ekonomi daerah. 

Lebih jauh, publik mencatat kecenderungan sebagian kepala daerah ingin dipuji karena berhasil menaikkan pendapatan asli daerah, padahal sumbernya adalah pungutan yang menekan rakyat kecil. Kenaikan PAD memang indah di laporan tahunan, tetapi apakah itu benar-benar keberhasilan jika dicapai dengan memeras lapisan ekonomi terbawah?

Baca Juga Berita Ini:  Perpustakaan Daerah Luwuk Banggai Megah, Tapi Buku Nihil

Pelajaran dari Pati

Gerakan Pati Bersatu di Jawa Tengah, yang menolak kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) hingga 250 persen, adalah contoh bagaimana masyarakat bisa menjadi pengoreksi kebijakan fiskal. Perlawanan ini mengirimkan pesan jelas: partisipasi publik bukan sekadar formalitas, melainkan mekanisme kontrol sosial terhadap kekuasaan fiskal daerah.

Rekomendasi untuk Banggai

Banggai masih punya peluang membenahi kebijakan PBJT. Pertama, lakukan survei lapangan untuk memetakan omzet riil pelaku usaha. Kedua, tetapkan ambang batas pembebasan—misalnya Rp15 juta per bulan seperti di Malang—sebagai kriteria non-pungut. Ketiga, terapkan tarif berjenjang sesuai kapasitas usaha. 

Keempat, lakukan sosialisasi dan pembinaan sebelum pemungutan. Kelima, komunikasikan secara transparan penggunaan dana pajak agar warga melihat manfaat langsung dari kontribusi mereka.

Pajak adalah instrumen pembangunan bersama, bukan alat untuk mengejar pujian sesaat. Pemerintah daerah memiliki dua pilihan: membangun PAD yang berkelanjutan dengan berpihak pada UMKM, atau mengejar target angka sambil mengorbankan fondasi ekonomi rakyat kecil. Keadilan fiskal tidak hanya soal peraturan, tetapi juga soal keberpihakan—dan di sinilah sejarah akan menilai.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *