Pemekaran Kecamatan dan Politik Patronase di Banggai

Oleh: Supriadi Lawani*

KABAR BANGGAI  –  Kabupaten Banggai kembali akan bertambah jumlah kecamatannya. Tiga wilayah baru direncanakan lahir: Kecamatan Toili Makmur, Teluk Kabetean, dan Nuhon Jaya. Di kecamatan Toili sendiri sebelumnya sudah dimekarkan satu kecamatan yakni Toili Jaya, dan kini bertambah satu lagi.

Jika ditarik garis politiknya, pemekaran kali ini berfokus pada daerah pemilihan (dapil) 2 dan dapil 4—dua wilayah dengan jumlah pemilih besar. Dapil 1 (kota Luwuk dan sekitarnya) belum ada rencana untuk dimekarkan mungkin saja dianggap relatif mudah dikendalikan secara birokratis karena dominasi aparatur sipil negara (ASN).Senin, 13/10/2025.

Di atas kertas, pemekaran kecamatan biasanya diklaim sebagai langkah pemerataan pembangunan dan upaya mendekatkan pelayanan publik kepada masyarakat.

Namun di lapangan politik, pemekaran sering menjadi alat patronase elektoral—sebuah strategi untuk memperkuat basis dukungan politik melalui perluasan struktur birokrasi dan simbol “pemberian” dari penguasa kepada rakyatnya.

Politik Patronase dalam Pemekaran

Dalam sistem politik lokal di Indonesia, terutama pada level kabupaten, birokrasi adalah modal kekuasaan utama. Bupati memegang kendali terhadap penentuan pejabat, program, dan arah anggaran daerah.

Ketika pemekaran kecamatan dilakukan, muncul banyak jabatan baru: camat, sekretaris, kepala seksi, serta pegawai administrasi. Semua posisi ini membutuhkan orang-orang baru, yang secara politik bisa dijadikan alat distribusi loyalitas.

Mereka yang diangkat, tentu saja, tidak berdiri netral. Mereka akan merasa berhutang budi kepada bupati yang membuka ruang jabatan tersebut. Inilah inti dari politik patronase: kekuasaan digunakan untuk mendistribusikan sumber daya—baik jabatan, proyek, maupun status sosial—kepada mereka yang dianggap loyal. Sebaliknya, loyalitas dan dukungan elektoral menjadi imbalan tak tertulis.

Pemekaran kecamatan juga membuka akses terhadap alokasi anggaran baru: pembangunan kantor camat, pengadaan kendaraan dinas, dan infrastruktur pendukung. Semua proyek ini tidak pernah steril dari logika politik rente.

Kontraktor lokal, tokoh masyarakat, hingga kelompok pendukung bupati akan terlibat dalam rantai ekonomi politik baru yang terbentuk dari kebijakan pemekaran tersebut.

Investasi Elektoral yang Halus

Menariknya, fokus pemekaran di Banggai berada pada dapil dengan jumlah pemilih besar, bukan pada wilayah yang paling sulit dijangkau pelayanan publik. Artinya, pemekaran tidak sepenuhnya berangkat dari pertimbangan administratif, melainkan dari kalkulasi elektoral.

Dapil 1 di kota Luwuk relatif mudah dikontrol karena banyak ASN yang posisinya berada dalam kendali struktural bupati. Maka, energi politik diarahkan ke wilayah luar kota yang kaya suara, seperti dapil 2 dan 4.

Baca Juga Berita Ini:  Nikel Banggai: Antara Fakta Pelanggaran dan Gosip Izin

Di sinilah pemekaran menjadi investasi elektoral jangka panjang: setiap kecamatan baru adalah “kantong suara baru” yang secara simbolik lahir dari tangan sang bupati.

Dalam dinamika politik lokal, “melahirkan” sebuah kecamatan sering dimaknai warga sebagai tanda keberpihakan. Mereka merasa diperhatikan, diakui, dan diangkat martabatnya oleh pemimpin daerah.

Sentimen ini mudah dikapitalisasi secara politik. Tak sedikit masyarakat di wilayah hasil pemekaran yang secara emosional menyebut kecamatan mereka “hadiah dari bupati”.

Narasi ini sangat kuat dalam membangun loyalitas politik—lebih kuat dari sekadar janji kampanye. Ketika pemilihan tiba, loyalitas itu seringkali diterjemahkan menjadi suara.

Kapital Simbolik dan Politik Pencitraan

Dalam kerangka teori sosiologi politik Pierre Bourdieu, pemekaran semacam ini adalah bentuk pertukaran kapital simbolik menjadi kapital politik.

Bupati memperoleh pengakuan sosial (symbolic capital) sebagai pemimpin yang “adil dan peduli terhadap kemajuan daerah (kecamatan)”. Pengakuan itu kemudian dikonversi menjadi dukungan politik nyata dalam pemilu.

Pemekaran wilayah juga menjadi alat pencitraan yang efektif. Ia menghadirkan kesan kerja nyata, padahal substansi keberhasilan pemerintahan tidak hanya diukur dari jumlah kecamatan, tetapi dari kualitas pelayanan, kesejahteraan warga, dan keadilan distribusi anggaran.

Dalam banyak kasus, pemekaran hanya memperbanyak struktur tanpa meningkatkan fungsi. Yang bertambah bukan pelayanan, melainkan lapisan birokrasi dan biaya politik.

Politik Simbolik di Balik Narasi Pemerataan

Bupati dan timnya biasanya membingkai pemekaran dengan narasi keadilan: bahwa daerah-daerah jauh dari pusat pemerintahan selama ini terpinggirkan dan perlu mendapat perhatian.

Secara retorik, narasi ini efektif, sebab menyentuh rasa keadilan warga. Tetapi, di sisi lain, narasi itu juga berfungsi sebagai legitimasi moral atas manuver politik.

Masyarakat yang selama ini merasa termarjinalkan tentu akan menyambut gembira pemekaran wilayahnya.

Namun euforia itu sering menutupi persoalan yang lebih mendasar: apakah pemekaran ini benar-benar memperbaiki pelayanan publik, atau hanya memperluas jaringan kekuasaan?

Ketika pemekaran dilakukan secara selektif di wilayah dengan potensi suara besar, sementara daerah yang lebih membutuhkan justru diabaikan, maka orientasinya jelas: politik elektoral lebih dominan daripada tata kelola pemerintahan.

Struktur Baru, Ketergantungan Lama

Pemekaran kecamatan memang menciptakan struktur baru, tetapi juga memperdalam ketergantungan lama. Wilayah baru tidak serta merta mandiri; ia tetap bergantung pada bupati dalam hal anggaran dan keputusan strategis.

Baca Juga Berita Ini:  Kualitas Sekolah Umum dan Madrasah: Sebuah Potret Ketimpangan

Artinya, pemekaran justru memperluas jangkauan pengaruh kekuasaan pusat kabupaten ke pelosok-pelosok.

Dalam situasi ini, otonomi lokal di tingkat kecamatan menjadi paradoks: secara formal lebih dekat dengan rakyat, tapi secara politis lebih dekat dengan bupati. Loyalitas birokrasi di wilayah hasil pemekaran tidak lahir dari kinerja, melainkan dari rasa terima kasih atas “pemberian”.

Ini meneguhkan sistem politik klientelistik, di mana hubungan kuasa dibangun atas dasar balas jasa, bukan profesionalisme.

Menuju Politik Pelayanan, Bukan Pelayanan Politik

Pemekaran wilayah seharusnya berorientasi pada pelayanan publik yang efisien, bukan pada pelayanan politik yang transaksional. Ketika pemekaran dijadikan strategi elektoral, maka masyarakat hanya dijadikan alat legitimasi, bukan subjek pembangunan.

Banggai bisa belajar dari banyak daerah lain di Indonesia yang memekarkan diri secara berlebihan tanpa kapasitas fiskal memadai.

Akibatnya, biaya birokrasi membengkak, pelayanan publik justru tersendat, dan korupsi administratif meningkat.

Jika Banggai ingin benar-benar tumbuh, pemekaran harus disertai perencanaan rasional, evaluasi kebutuhan riil, dan transparansi publik.

Rakyat berhak tahu alasan, biaya, dan arah manfaat dari kebijakan itu. Tanpa itu semua, pemekaran hanyalah politik pencitraan dalam wujud geografis.

Penutup

Pemekaran kecamatan di Banggai tampak sederhana di permukaan, tapi di baliknya tersembunyi mekanisme patronase elektoral yang sistematis.

Ia menunjukkan bagaimana kekuasaan lokal memanfaatkan instrumen administratif untuk mengamankan dukungan politik.

Dalam jangka pendek, strategi ini mungkin efektif: bupati mendapatkan simpati dan suara. Namun dalam jangka panjang, daerah akan terjebak dalam siklus ketergantungan dan birokrasi gemuk yang tidak produktif.

Tulisan ini bukan menolak pemekaran kecamatan, tetapi mengingatkan agar kebijakan semacam itu dirancang berdasarkan kebutuhan nyata masyarakat, bukan kepentingan elektoral.

Apalagi, Menteri Keuangan telah mewacanakan pengurangan transfer keuangan ke daerah (TKD) sebagai bagian dari efisiensi fiskal nasional.

Dalam situasi ini, setiap pemekaran tanpa perhitungan justru bisa menambah beban keuangan daerah dan memperlemah kemampuan fiskal Banggai sendiri.

Pemekaran hanya akan bermakna bila ia memperkuat pelayanan publik, bukan memperluas beban birokrasi. Karena pada akhirnya, pembangunan yang sejati bukan tentang menambah kecamatan, melainkan menambah keadilan.**

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *