Oleh: Supriadi Lawani*
KABAR BANGGAI – Aku membayangkan sebuah negeri yang seluruh urat nadinya telah disusupi korupsi. Negeri yang berdenyut bukan oleh nurani, melainkan oleh aliran uang yang mengalir dari meja-meja rapat ke saku-saku yang menunggu.
Di layar kaca, presiden berpidato tentang perang melawan korupsi; di balik tirai, mereka yang mendengar pidato itu menandatangani kontrak, menerima fee, dan tersenyum kecil — seolah pidato itu hanyalah sandi kesepakatan di antara mereka yang sudah paham permainan. Selas, 7 Oktober 2025.
Korupsi di negeri ini tidak lagi rahasia gelap. Ia hidup di udara, menempel pada setiap napas birokrasi. Dari proyek raksasa hingga urusan kecil di kantor desa, dari pengangkatan pejabat hingga masuknya pegawai baru — semua punya harga.
Jabatan diperjualbelikan, hukum dinegosiasikan, kebenaran dikompromikan. Wartawan dibungkam dengan amplop, lembaga pengawas dikuliti fungsinya dengan kata “koordinasi,” dan pendidikan dijadikan jalur cepat menuju kekuasaan, bukan pencarian kebenaran.
Negeri ini tampak religius. Nama Tuhan disebut di setiap pidato, doa mengawali setiap rapat, dan simbol-simbol suci tergantung di setiap ruang publik. Tapi ketuhanan di sini hanya hiasan yang menenangkan rasa bersalah kolektif.
Agama telah berubah menjadi jubah penutup kerakusan, bukan cermin untuk melihat dosa sendiri. Mereka bersujud kepada Tuhan setiap pagi, lalu menyembah kekuasaan sepanjang hari.
Industri manufaktur mati, pertanian tidak ada harapan, nelayan kehilangan lautnya. Sumber daya alam digadai murah atas nama investasi, dan yang berteriak soal kedaulatan dianggap pengganggu stabilitas.
Rakyat menjadi prekariat: bekerja tanpa kepastian, hidup dari proyek yang sementara, menunggu belas kasihan dari sistem yang tak pernah peduli. Sementara itu, para pejabat berjalan dengan dada tegak, percaya diri dalam kebohongan yang mereka bangun sendiri.
Dan yang paling mengerikan: semua ini diterima. Tidak ada yang benar-benar terkejut. Rakyat hanya mengeluh pelan, lalu beranjak bekerja, menyesuaikan diri, mencari cara bertahan di lumpur yang sama.
Di negeri yang kotor, kebersihan justru tampak janggal; kejujuran menjadi bahan lelucon; idealisme disebut kenekatan. Pelan-pelan, kita semua belajar meniru: menipu sedikit, menutup mata sedikit, menyesuaikan diri agar tidak tertinggal.
Kini aku tahu, dosa negeri ini bukan hanya milik pejabat. Ia juga milikku, milikmu, milik kita semua. Kita hidup di dalamnya, bernapas dari udara yang sama, menikmati sisa-sisa hasil kebusukan yang kita kutuk. Kita tahu ini salah, tapi tetap diam, karena diam terasa lebih aman daripada melawan. Kita menonton negeri ini tenggelam, dan tanpa sadar ikut menenggelamkan diri sendiri.
Kita sudah lama berkubang dalam lumpur itu — lumpur yang hangat karena kebiasaan, kotor karena kepura-puraan. Tidak ada yang benar-benar bersih di semesta yang kotor ini. Bahkan kata “bersih” pun sudah kehilangan maknanya, karena setiap usaha menuju kebersihan selalu harus melewati kotoran yang kita hasilkan sendiri.
Maka biarlah esai ini gelap, sebagaimana gelapnya nurani negeri ini. Sebab cahaya tidak lagi bisa memantul di cermin yang retak dan berdebu.
Di negeri yang mati nurani, yang tersisa hanya bayangan — dan di dalam bayangan itu, aku, kamu, dan kita semua berdiri, menatap kebusukan yang telah menjadi wajah kita sendiri.**