Oleh: Supriadi Lawani*
KABAR BANGGAI – Belum lama ini, Bupati Banggai ikut menandatangani komitmen bersama pembangunan meritokrasi instansi di Badan Kepegawaian Negara.
Komitmen ini sejatinya penting, karena meritokrasi adalah fondasi birokrasi profesional: jabatan diisi berdasarkan kompetensi, kualifikasi, dan kinerja, bukan karena kedekatan politik atau faktor nonprofesional.Jum,at 3 Oktober 2025.
Namun, pertanyaan yang muncul adalah: sejauh mana Kabupaten Banggai sudah menerapkan meritokrasi dalam tiga tahun terakhir?
SAKIP sebagai Cermin
Jika kita menilik capaian Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP), terlihat tren yang menarik sekaligus mengkhawatirkan.
Pada 2021, Banggai berhasil meraih predikat A dengan nilai 80,54—sebuah pencapaian yang menandakan perencanaan dan pelaksanaan program relatif solid.
Sayangnya, capaian itu tidak bertahan lama. Tahun 2023, nilai SAKIP Banggai menurun menjadi BB dengan skor 75,02. Sementara pada 2024, berdasarkan data KemenPAN-RB menyebutkan nilai Banggai masih BB berada di kisaran 75,74. Artinya, tren penurunan masih berlanjut.
Meritokrasi sebagai Fondasi
Penurunan SAKIP ini bukan sekadar angka administratif. Ia bisa dibaca sebagai cermin goyahnya konsistensi meritokrasi dalam birokrasi daerah.
Sebab, meritokrasi adalah input, sementara SAKIP adalah output.
Jika pejabat dipilih karena loyalitas politik, maka perencanaan cenderung lemah, pelaksanaan program tidak fokus, dan hasilnya berdampak pada menurunnya kinerja organisasi.
Sebaliknya, meritokrasi yang kuat akan menghasilkan birokrasi yang berkesinambungan dan berorientasi pada hasil. Bukan hanya programnya yang terukur, tetapi juga pelayanan publik yang semakin efektif dan efisien.
Dari Komitmen ke Implementasi
Dalam konteks ini, komitmen Bupati Banggai di tingkat nasional perlu ditindaklanjuti secara nyata di daerah.
Jangan sampai komitmen meritokrasi hanya berhenti pada seremoni penandatanganan. Rakyat tentu berharap birokrasi Banggai benar-benar diisi oleh orang-orang yang tepat di posisi yang tepat.
Dengan begitu, cita-cita “astacita” yang digaungkan pemerintah pusat bukan sekadar jargon, tetapi benar-benar hadir dalam keseharian masyarakat.
Penutup
Membenahi meritokrasi bukan lagi pilihan, melainkan keniscayaan. Jika tidak, tren penurunan SAKIP hanyalah alarm awal dari merosotnya akuntabilitas birokrasi kita.
Pada akhirnya, rakyatlah yang akan menanggung akibatnya: pelayanan publik yang lambat, kebijakan yang tidak konsisten, dan program pembangunan yang tidak tepat sasaran.
Karena itu, komitmen yang baru saja ditandatangani di tingkat nasional harus diterjemahkan menjadi langkah nyata di daerah.
Bukan hanya seleksi jabatan yang lebih transparan, tetapi juga budaya kerja yang menempatkan profesionalisme di atas kepentingan politik jangka pendek.
Meritokrasi memang bukan obat instan. Tetapi tanpa meritokrasi, sulit membayangkan birokrasi Banggai mampu bergerak maju.
Justru di tengah persaingan antar-daerah, Banggai tidak boleh puas dengan capaian masa lalu.
Astacita yang dicanangkan pemerintah pusat hanya akan bermakna jika daerah mampu membangun tradisi birokrasi yang konsisten, terukur, dan berpihak pada kepentingan masyarakat luas.**