KABARA BANGGAI – Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Banggai kembali harus menelan pil pahit setelah Mahkamah Agung (MA) menolak permohonan kasasi mereka. Kekalahan ini menjadi yang ketiga secara beruntun, setelah sebelumnya KPU Banggai juga kalah di tingkat Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Palu dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Makassar.
Kekalahan ini sekaligus menjadi pukulan telak bagi citra dan integritas lembaga penyelenggara pemilu tersebut di mata publik.
Gugatan terhadap KPU Banggai dilayangkan oleh Sugianto Adjadar, mantan anggota Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) Batui, melalui kuasa hukumnya dari Jati Centre Palu. Polemik ini mulai bergulir sejak 16 April 2024, ketika Sugianto menggugat keputusan KPU yang memberhentikannya secara sepihak tanpa melalui prosedur klarifikasi yang layak.
Mahkamah Agung dalam putusan kasasi Nomor 238/KTUN/2025 tertanggal 23 Mei 2025 dengan tegas menolak permohonan kasasi yang diajukan oleh KPU Banggai.
Dalam amar putusan tersebut, Majelis Hakim berpendapat bahwa dalil-dalil yang diajukan oleh pihak KPU tidak beralasan hukum. Putusan Judex Facti dinilai telah tepat, baik dari sisi pertimbangan maupun penerapan hukum.
“Kami sejak awal optimis bahwa tindakan KPU cacat secara hukum. Mereka langsung menjatuhkan sanksi tanpa klarifikasi atau pembelaan kepada klien kami. Ini jelas menyalahi aturan,” tegas Ruslan Husen, Ketua Tim Hukum Jati Centre Palu, dalam keterangannya kepada media, Rabu, 11 Juni 2025.
Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah Agung menyatakan bahwa tindakan KPU Banggai telah melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik, khususnya asas kecermatan.

Keputusan tersebut juga bertentangan dengan Pasal 7 ayat (2) huruf f Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan serta Pasal 107 ayat (2) Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2020.
Tak hanya itu, majelis hakim yang diketuai oleh Prof. Dr. H. Yulius, S.H., M.H. juga menilai bahwa KPU Banggai tidak memberikan hak kepada Sugianto untuk membela diri sebelum dijatuhi sanksi. Padahal prinsip due process of law mewajibkan adanya proses klarifikasi dan pembelaan diri sebelum keputusan administratif diambil.
Lebih jauh, Mahkamah Agung juga menegaskan bahwa Sugianto tidak terbukti melanggar kode etik penyelenggara pemilu sebagaimana yang diatur dalam Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2017. Kesaksian Sugianto di Bawaslu tidak dapat dijadikan alasan untuk memberhentikannya sebagai anggota PPK.
Ruslan Husen menyebutkan bahwa putusan Mahkamah Agung merupakan kemenangan bagi keadilan dan menjadi preseden baik dalam penegakan hukum administratif di Indonesia.
“Kemenangan ini bukan hanya kemenangan pribadi klien kami, tetapi juga kemenangan masyarakat yang menuntut keadilan. Ini menunjukkan bahwa penyelenggara pemilu tidak boleh bertindak semena-mena,” tegas Ruslan.
Atas kekalahan beruntun ini, kredibilitas dan integritas KPU Banggai mulai dipertanyakan publik. Evaluasi menyeluruh terhadap prosedur internal pemberian sanksi harus segera dilakukan agar kesalahan serupa tidak kembali terulang di masa mendatang.
Padahal, jika sejak awal KPU Banggai mengikuti prosedur yang benar dan memberikan ruang klarifikasi kepada pihak terkait, konflik berkepanjangan ini bisa dihindari. Selain membuang waktu dan tenaga, proses hukum yang panjang ini juga telah membebani anggaran negara.
Dengan keluarnya putusan Mahkamah Agung, tidak ada lagi upaya hukum yang dapat ditempuh oleh KPU Banggai. Putusan ini bersifat final dan mengikat. Kini, KPU Banggai harus menerima kenyataan pahit atas kekalahan yang menyisakan catatan buruk bagi lembaga tersebut menjelang gelaran Pilkada serentak 2025.**







