Oleh: Supriadi Lawani*
KABAR BANGGAI – Seperti diberitakan Hukum.ID, Kepala ULP sekaligus Plt Kadis PUPR Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah, DS, baru-baru ini tampil dengan gaya kasual modern. Dalam postingan cerita akun Facebook miliknya, DS terlihat mengenakan topi putih, kemeja rapi, memegang iPhone Pro series dengan harga pasaran sekitar Rp15–20 juta, serta jam tangan skeleton berukuran besar yang jika melihat model serupa diperkirakan bernilai Rp5–15 juta. Sabtu, 20/9/2025
Potret itu menjadi sorotan karena muncul tak lama setelah Wakil Bupati Banggai mengingatkan ASN agar “menjaga kesederhanaan”. Entah apa yang dimaksud dengan kesederhanaan tersebut, karena yang terlihat justru sebaliknya: pejabat publik yang gajinya berasal dari uang rakyat menampilkan gaya hidup yang jauh lebih mewah dibandingkan rakyat kebanyakan.
Kenapa pejabat senang tampil mewah?
Dalam literatur klasik sosiologi, fenomena ini disebut “conspicuous consumption” oleh Thorstein Veblen—konsumsi mencolok untuk menunjukkan status sosial. Kepemilikan iPhone terbaru bukan lagi sekadar alat komunikasi, melainkan simbol gengsi. Jam tangan skeleton berharga belasan juta bukan sekadar alat penunjuk waktu, melainkan penanda prestise.
Bagi pejabat, simbol-simbol itu seolah memperkuat status. Padahal, publik justru membaca sebaliknya: jarak sosial semakin melebar. Dalam demokrasi, pejabat seharusnya hadir untuk menghapus jarak itu, bukan menegaskannya lewat simbol kemewahan.
Dari pamer kemewahan ke potensi kekerasan
Yang kerap dilupakan adalah, pamer kemewahan di tengah kesenjangan sosial bisa memicu kecemburuan dan kekerasan sosial. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa rasa ketidakadilan ekonomi sering berubah menjadi amarah kolektif. Di Indonesia, kita menyaksikan kasus kekerasan yang dipicu rasa iri dan ketidakpuasan, salah satunya dipicu oleh gaya hidup mewah yang dipamerkan elite.
Fenomena serupa baru – baru ini pernah terjadi di Nepal, di mana demonstrasi dan kerusuhan sosial dipicu oleh kemarahan terhadap elite politik yang hidup glamor sementara rakyat bergelut dengan kemiskinan. Di baliknya memang ada praktik korupsi, tapi faktor pamer kemewahan di ruang publik ikut menyulut api kemarahan.
Di Banggai, masyarakat pun tahu berapa gaji resmi seorang pejabat. Pertanyaannya: dari mana datangnya barang-barang mewah itu? Ketika publik tidak menemukan jawaban yang masuk akal, kecurigaan terhadap praktik penyalahgunaan jabatan akan semakin besar.
Yang hilang: simbol kesederhanaan
Padahal, kesederhanaan pernah menjadi simbol penting kepemimpinan. Bung Hatta, M.Natsir hingga Gus Dur, mengajarkan bahwa legitimasi publik lahir bukan hanya dari jabatan, tetapi dari teladan moral.
Sekarang, nilai simbolik itu menghilang. Media sosial malah dijadikan panggung pamer. Menurut teori legitimasi Max Weber, seorang pejabat memang sah secara hukum, tetapi tanpa etika simbolik kesederhanaan, legitimasi moralnya runtuh.
Penutup
Tulisan ini bukan hendak mengatur selera berpakaian DS atau pejabat lain. Namun sebagai Kepala ULP sekaligus Plt Kadis PUPR Banggai, ia harus sadar bahwa setiap simbol yang dipamerkan—iPhone Pro Rp20 juta atau jam tangan Rp15 juta—bukan sekadar urusan pribadi, melainkan pesan politik kepada rakyat.
Rakyat Banggai tidak menuntut pejabatnya miskin, tetapi menuntut kesadaran bahwa pamer kemewahan di tengah kesulitan ekonomi bisa memperlebar jurang sosial, memicu kecemburuan, bahkan kekerasan. Yang hilang dari kehidupan publik kita saat ini bukan sekadar kesederhanaan, melainkan kemauan untuk menahan diri demi menjaga martabat jabatan dan keadilan sosial.**