KABAR BANGGAI – Ketua Umum Dewan Pergerakan Advokat Republik Indonesia (DePA-RI) Dr. TM Luthfi Yazid, S.H., LL.M menilai, kini saatnya me-reset (mengatur ulang) sistem negara hukum Indonesia agar kembali kepada relnya.
“Akankah kita menginginkan yang terjadi di Nepal juga terjadi di negeri kita yang katanya menganut prinsip Negara Hukum? Inilah saatnya me-reset sistem negara hukum Indonesia agar kembali kepada relnya,” katanya dalam perbincangan dengan wartawan di Jakarta, Rabu (24/9).
Penyataan itu dikemukakan Ketum DePA-RI saat ditanya wartawan mengenai isu apa yang diangkatnya saat memberikan Kuliah Umum di hadapan ratusan mahasiswa Prodi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) di Aula Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Mataram (Unram) pada 16 September 2025.
Luthfi Yazid lebih lanjut mengemukakan, topik pembahasan kuliah umum yang disampaikannya adalah “Negara Hukum: Antara Cita dan Realita”, dengan moderator dosen senior bidang hukum Unram, Dr. Hj. Yuliatin, SH, MH.
Pada kesempatan itu Ketum DePA-RI menyampaikan beberapa hal penting. Pertama, berdasarkan UUD 1945 jelas diamanatkan bahwa Indonesia adalah negara hukum (Pasal 1 Ayat (3)). Pilihan sejak awal sudah jelas: Rechstaat, Rule of Law, atau Konstitutionalisme. Bukan Negara Kekuasaan atau Machstaat.
Kedua, di dalam UUD 1945 tidak ada kata “kepastian hukum” saja, melainkan “kepastian hukum yang adil” (Pasal 28 D Ayat (1)). Artinya, kepastian hikum harus diikuti dengan prinsip keadilan. Titik tekannya justru pada keadilan.
Pasal 28D Ayat (1) itu sangat jelas sejalan dengan Pembukaan UUD 1945, di mana disebutkan atau terdapat penggalan kalimat “…serta dengan mewujudkan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia” yang kemudian dikenal dengan sila kelima Pancasila.
Jika disimak dengan seksama, menurut Luthfi Yazid, para penyusun Konstitusi yang awal jelas menekankan pentingnya mewujudkan keadilan dari sekadar penegakan hukum an sich.
Lantas, pertanyaan yang muncul dari para mahasiswa adalah, apakah masih perlu mempelajari negara hukum? Bukankah yang ada adalah negara kekuasaan? Bukankah faktanya hukum tajam ke bawah tapi tumpul ke atas?
Apakah masih relevan bicara soal negara hukum di mana di Indonesia terutama selama sepuluh tahun pemerintahan Joko Widodo banyak terjadi kriminalisasi terhadap mereka yang kritis kepada pemerintah?
Disebutkan pula banyaknya aturan hukum yang diremehkan bahkan dinafikan, seperti korupsi yang melibatkan orang-orang dekat Presiden Jokowi, yaitu menteri-menteri dan para pendukungnya, dan ini berarti para mahasiswa hukum melihat Indonesia lebih sebagai negara kekuasaan ketimbang negara hukum.
“Apakah kemudian keadaannya mesti ‘di-Nepal-kan’ dulu baru berkomitmen untuk menegakkan hukum dan keadilan secara konsisten? Ataukah para pejabat yang memamerkan kemewahannya harus ‘di-Sahroni-kan’ dulu agar insyaf?, “ kata Ketum DePA-RI menirukan pertanyaan para mahasiswa.
Sebagai generasi penerus, lanjutnya, wajar mereka merasakan kegelisahan yang sedemikian rupa, sebab seringnya mereka melihat para pejabat ditangkap karena korupsi, putusan pengadilan yang sering melukai rasa keadilan, atau putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap tapi tak bisa dijalankan.
Ia menambahkan, suara dan kegelisahan anak-anak muda Milenral atau Gen Z seperti itu tidak bisa dianggap remeh, sebab revolusi yang terjadi di Nepal justru dilakukan oleh anak-anak muda.**